Pernah merasa rendah diri? Atau kecil dan gak ada apa-apanya di kehidupan. Boleh merasa itu ketika kita menyadari posisi kita di mata Allah.
Insiden tegangnya nunggu pengumuman SNMPTN hari Rabu kemarin itu jadi perasaan yang gak pernah aku lupa. Dari malamnya berniat buat gak buka sosmed selama 1 hari itu, takut hasilnya mengecewakan. Ya sebenernya rasa kecewa itu karena aku berharap dan percaya diri aku keterima.
Takdir berkata lain. Aku mendaftar di Gizi UI dan aku ditolak. Lebih sakit daripada ditolak doi. Hehehe...Begitu aku tau dapet lampu merah, ada rasa down sedikit tapi aku terus ngomong ke diri aku buat kuat dan hal itu gak usah dibawa serius. Yang ada makin susah buat keluar dari perasaan kecewa itu. Sorenya aku buka sosmed. Aku kebanjiran notifikasi masuk yang hampir 99% menanyakan "Gimana snm-nya?". Dapet pesan itu ketika kita tau jawabannya enggak tuh emang gaenak banget. Merasa makin down karena gak ada yang ngertiin perasaan aku sekarang lagi kenapa. Tapi oh tapi, mereka kan gak tau kalau aku ditolak. Justru mereka nanya ya karena gak tau, kalau tau ngapain nanya. Ih apaan sih, dasar aku! Berusahalah jari ini buat ngetik kata-kata yang sekiranya gak menunjukkan aku lagi down banget. Padahal mah iya...
"Alhamdulillah, ndak lolos"
"Alhamdulillah, takdirnya di tempat lain"
"Alhamdulillah, ...."
Dan semua jawaban aku dimulai dari kata itu. Kenapa aku gitu? Sebelum tertimpa ujian ditolaknya aku sama UI, aku pernah baca sebuah kisah sahabat. Tapi aku lupa detailnya gimana, pokoknya intinya gini :
Sahabat nabi itu senang ketika keinginannya dikabulkan dan sepuluh kali lipat lebih senang ketika keinginannya gak dikabulkan. Itu tandanya Allah menghindarkan dia dari hal buruk yang mungkin ditimpa ke dia ketika keinginannya dikabulkan.
Berprasangka baik dengan Allah tuh emang kudu, harus, wajib. Misalkan kalau aku diterima di UI berarti itu juga yang terbaik buat aku. Dan kalau aku ditolak sama UI itu juga udah jadi yang terbaik buat aku. Kelak aku akan mendapat hikmah atau maksud Allah tuh mau ngapain sih buat aku ditolak sama PTN yang aku pengen.
Menjadi orang positif itu emang susah. Bukan positif Covid-19 ya. Perlu latihan! Bagaimana kita mengolah rasa kecewa itu jadi dorongan bagi kita untuk lebih memaknai takdir dan berusaha lebih dekat sama Pemilik Jagat Raya. Sayang aja gitu, karena kekecewaan kita yang buat diri jadi futur, jauh dari Allah. Nah, itu aku ngalamin kemarin. Seharian kemarin aku gak ngejalanin target pra-ramadhan yang jadi komitmen aku. Aku gak tilawah al-Qur'an, aku gak shalawatan 1000 kali, aku males-malesan buat sholat. Astaghfirullah. Iman langsung drop. Jangan ditiru ya, guys.
Sampai pagi hari ini aku liat timeline di Instagram yang ngebuat aku jadi malu..... banget buat nginjekin kaki di bumi, malu buat napas di bumi.
Di-post-an itu menerangkan tentang kita yang rendah di mata orang-orang sekitar. Aku merasakannya ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang tentang kelolosanku dalam SNMPTN. Aku merasa kecil dengan orang-orang yang lolos. Aku merasa kalah. Aku merasa dunia berakhir karena itu. That's my big mistake. Asumsi diri aku yang kalah berdampak sama keimananku yang seharusnya makin bertambah, nyatanya anjlok.
Itulah yang membuatku mau bangkit lagi. Sebenernya orang-orang ataupun temen-temen gak ada yang merendahkan aku. Mengatakan aku sudah gagal. Enggak ada. Justru mereka memberiku semangat dan doa. Permasalahannya mau sepositif orang-orang ke kita tapi kalau dari diri kita yang menolak dan justru memberi pengaruh negatif ke diri kita sendiri, gak akan bisa bangkit lagi dari kesedihan.
Alhamdulillah, aku dipertemukan dengan post-an itu yang langsung menginfeksi otak dan hati aku buat mikir. Iya juga ya... Alhasil, yang perlu kita lakukan kalau ada di posisi itu ya legowo terimo ikhlas lahir batin dan terpenting makin gencar buat deket sama Allah. Tetep istiqomah dalam menjalankan ibadah rohani yang menjadi makanan hati kita.
Insiden tegangnya nunggu pengumuman SNMPTN hari Rabu kemarin itu jadi perasaan yang gak pernah aku lupa. Dari malamnya berniat buat gak buka sosmed selama 1 hari itu, takut hasilnya mengecewakan. Ya sebenernya rasa kecewa itu karena aku berharap dan percaya diri aku keterima.
Takdir berkata lain. Aku mendaftar di Gizi UI dan aku ditolak. Lebih sakit daripada ditolak doi. Hehehe...Begitu aku tau dapet lampu merah, ada rasa down sedikit tapi aku terus ngomong ke diri aku buat kuat dan hal itu gak usah dibawa serius. Yang ada makin susah buat keluar dari perasaan kecewa itu. Sorenya aku buka sosmed. Aku kebanjiran notifikasi masuk yang hampir 99% menanyakan "Gimana snm-nya?". Dapet pesan itu ketika kita tau jawabannya enggak tuh emang gaenak banget. Merasa makin down karena gak ada yang ngertiin perasaan aku sekarang lagi kenapa. Tapi oh tapi, mereka kan gak tau kalau aku ditolak. Justru mereka nanya ya karena gak tau, kalau tau ngapain nanya. Ih apaan sih, dasar aku! Berusahalah jari ini buat ngetik kata-kata yang sekiranya gak menunjukkan aku lagi down banget. Padahal mah iya...
"Alhamdulillah, ndak lolos"
"Alhamdulillah, takdirnya di tempat lain"
"Alhamdulillah, ...."
Dan semua jawaban aku dimulai dari kata itu. Kenapa aku gitu? Sebelum tertimpa ujian ditolaknya aku sama UI, aku pernah baca sebuah kisah sahabat. Tapi aku lupa detailnya gimana, pokoknya intinya gini :
Sahabat nabi itu senang ketika keinginannya dikabulkan dan sepuluh kali lipat lebih senang ketika keinginannya gak dikabulkan. Itu tandanya Allah menghindarkan dia dari hal buruk yang mungkin ditimpa ke dia ketika keinginannya dikabulkan.
Berprasangka baik dengan Allah tuh emang kudu, harus, wajib. Misalkan kalau aku diterima di UI berarti itu juga yang terbaik buat aku. Dan kalau aku ditolak sama UI itu juga udah jadi yang terbaik buat aku. Kelak aku akan mendapat hikmah atau maksud Allah tuh mau ngapain sih buat aku ditolak sama PTN yang aku pengen.
Menjadi orang positif itu emang susah. Bukan positif Covid-19 ya. Perlu latihan! Bagaimana kita mengolah rasa kecewa itu jadi dorongan bagi kita untuk lebih memaknai takdir dan berusaha lebih dekat sama Pemilik Jagat Raya. Sayang aja gitu, karena kekecewaan kita yang buat diri jadi futur, jauh dari Allah. Nah, itu aku ngalamin kemarin. Seharian kemarin aku gak ngejalanin target pra-ramadhan yang jadi komitmen aku. Aku gak tilawah al-Qur'an, aku gak shalawatan 1000 kali, aku males-malesan buat sholat. Astaghfirullah. Iman langsung drop. Jangan ditiru ya, guys.
Sampai pagi hari ini aku liat timeline di Instagram yang ngebuat aku jadi malu..... banget buat nginjekin kaki di bumi, malu buat napas di bumi.
![]() |
| https://www.instagram.com/p/B-x88ywjtmG/?utm_source=ig_web_copy_link |
Di-post-an itu menerangkan tentang kita yang rendah di mata orang-orang sekitar. Aku merasakannya ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan orang-orang tentang kelolosanku dalam SNMPTN. Aku merasa kecil dengan orang-orang yang lolos. Aku merasa kalah. Aku merasa dunia berakhir karena itu. That's my big mistake. Asumsi diri aku yang kalah berdampak sama keimananku yang seharusnya makin bertambah, nyatanya anjlok.
Itulah yang membuatku mau bangkit lagi. Sebenernya orang-orang ataupun temen-temen gak ada yang merendahkan aku. Mengatakan aku sudah gagal. Enggak ada. Justru mereka memberiku semangat dan doa. Permasalahannya mau sepositif orang-orang ke kita tapi kalau dari diri kita yang menolak dan justru memberi pengaruh negatif ke diri kita sendiri, gak akan bisa bangkit lagi dari kesedihan.
Alhamdulillah, aku dipertemukan dengan post-an itu yang langsung menginfeksi otak dan hati aku buat mikir. Iya juga ya... Alhasil, yang perlu kita lakukan kalau ada di posisi itu ya legowo terimo ikhlas lahir batin dan terpenting makin gencar buat deket sama Allah. Tetep istiqomah dalam menjalankan ibadah rohani yang menjadi makanan hati kita.
Mau serendah apapun kita di mata manusia termasuk diri kita sendiri, yang paling penting bagaimana kita di mata Allah

Comments
Post a Comment